ANALISIS JURNAL UTAMA
“Oral Health Of Young Adolescents In Addis Ababa - A
Community-Based Study”
“Kesehatan Mulut Remaja MUda di Addis Ababa – Komunitas-
Berbasis Studi”
Memburuknya
kesehatan mulut adalah masalah kesehatan masyarakat yang muncul di
negara-negara berkembang, Namun sedikit perhatian telah diberikan kepada
kesehatan mulut di sebagian besar negara-negara sub-Sahara. Masalah terbesar
yang dihadapi penduduk Indonesia seperti juga di negara-negara berkembang
lainnya di bidang kesehatan gigi dan mulut adalah penyakit jaringan keras gigi
(caries dentin). Sebanyak 89% anak Indonesia di bawah 12 tahun menderita
penyakit gigi dan mulut. Kondisi itu akan berpengaruh pada derajat kesehatan
mereka, proses tumbuh kembang bahkan masa depan mereka. Kesehatan gigi dan
mulut telah mengalami peningkatan pada abad terakhir tetapi prevalensi
terjadinya karies gigi pada anak tetap merupakan masalah klinik yang signifikan
(1,2,3).
Karies
gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yang ditandai dengan terjadinya
mineralisasi bagian anorganik dan demineralisasi substansi organik. Karies
dapat terjadi pada setiap gigi yang erupsi, pada tiap orang tanpa memandang
umur, jenis kelamin, bangsa, maupun status ekonomi. Proses karies terjadi melalui interaksi
empat faktor yaitu gigi, mikroorganisme, subtrat dan waktu. Dari keempat faktor
tersebut subtrat dan waktu sangat ditentukan oleh kebiasaan seseorang. Makanan
yang mudah melekat pada permukaan gigi dapat mempercepat terjadinya karies dan
perkembangan karies sangat dipengaruhi oleh sisa makanan yang tertinggal di
dalam mulut dalam waktu yang lama. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan yang
mudah melekat dan manis tidak dapat dihindari maka dengan menjaga kebersihan gigi
dan mulut yang intensif dan ekstrim dapat membantu mencegah kerusakan gigi
karena karies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa murid perempuan lebih banyak
menderita karies dengan rerata DMF-T 1,37 dibandingkan murid laki-laki dengan rerata
DMF-T 1,33 (4,7,10).
Tingginya
angka penyakit gigi dan mulut saat ini sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor
yang salah satunya adalah faktor perilaku masyarakat yang belum menyadari
pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Hal ini terlihat dari 22,8%
penduduk Indonesia tidak menyikat gigi dan dari 77,2% yang menyikat gigi hanya
8,1% yang menyikat gigi tepat waktu (Eliza Herijulianti, dkk, 2001). Walaupun
tidak menimbulkan kematian, sebagai akibat dari kerusakan gigi dan jaringan
pendukung gigi dapat menurunkan tingkat produktivitas seseorang, karena dari
aspek biologis akan dirasakan sakit. Penyakit gigi dan mulut dapat juga menjadi
sumber infeksi yang dapat mengakibatkan bahkan mempengaruhi beberapa penyakit
sistemik. (Donna Pratiwi, 2007) (5).
Trauma
oral juga terjadi pada 10% - 15% anak anak. Trauma ini biasanya terjadi karena
kecelakaan lalu lintas jalan atau kekerasan dan bermain aman. Pengalaman karies
sebelumnya juga merupakan suatu indikator yang kuat untuk menentukan terjadinya
karies di masa yang akan datang. Li and Wang mengatakan bahwa anak yang
mempunyai karies pada gigi sulung mempunyai kecenderungan tiga kali lebih besar
untuk terjadinya karies pada gigi permanen. Gingivitis adalah penyebab lain
dari masalah gigi pada anak-anak sekolah. Fungsi saliva adalah sebagai pelicin,
pelindung, buffer, pembersih, anti pelarut dan antibakteri. Faktor yang
ada dalam saliva yang berhubungan dengan karies antara lain adalah aksi
penyangga dari saliva, komposisi kimiawi, aliran (flow), viskositas dan
faktor anti bakteri. Anak yang berisiko karies tinggi memiliki aliran saliva
yang rendah (1,6).
Ada
beberapa faktor memiliki konstribusi dalam menyebabkan terjadinya karies gigi
pada anak. Faktor kejadian karies gigi antara lain faktor dari makanan,
kebersihan gigi dan mulut, kebiasaan-kebiasaan yang tidak sesuai dengan
kesehatan seperti mengemut makanan dan pemberian makanan melalui botol (Hariadi,
2009). Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kebersihan gigi dan mulut
pada anak sekolah adalah perilaku menyikat gigi yang masih belum baik. Anak
yang berisiko karies tinggi mempunyai oral hygiene yang buruk ditandai
dengan adanya plak pada gigi anterior disebabkan jarang melakukan kontrol plak (2,8).
Selain
itu faktor konsumsi juga mempengaruhi karies pada anak. Faktor makanan yang
dihubungkan dengan terjadinya karies adalah jumlah fermentasi, konsentrasi dan
bentuk fisik (bentuk cair, tepung, padat) dari karbohidrat yang dikonsumsi,
retensi di mulut, frekuensi makan dan snacks serta lamanya interval
waktu makan. Anak yang berisiko karies tinggi sering mengkonsumsi makanan
minuman manis di antara jam makan. Kondisi kesehatan pada anak sangat
berpengaruh pada risiko karies. Kondisi kesehatan umum juga mempengaruhi
kejadian karies pada anak (6).
Dampak
kerusakan gigi sejak dini adalah fungsi gigi sebagai pengunyah terganggu,
sehingga anak akan mengalami gangguan dalam proses mengunyah dan proses
pencernaan. Akibatnya anak tidak mau makan dan yang lebih parah bisa terjadi
malnutrisi, anak akan kurang berkonsentrasi dalam belajar dan bermain sehingga
akan mempengaruhi kecerdasannya. Akibat lain dari kerusakan gigi adalah
penyebaran toksin atau bakteri pada mulut melalui aliran darah, saluran
pernafasan dan saluran pencernaan. Apalagi bila anak mengalami malnutrisi, hal
tersebut akan menyebabkan daya tahan tubuh anak menurun dan akan mudah terkenah
penyakit. Bila gigi sulung sudah rusak dan berlubang dapat diramalkan gigi
dewasanya tidak akan sehat nantinya (Rogers, 2008) (2).
Kebanyakan
penyakit mulut dapat dengan mudah dicegah dengan pelaksanaan langkah-langkah
pencegahan yang sederhana, termasuk penggunaan sealant untuk melapisi lubang
dan celah dengan aman, suplemen fluoride, air dan susu fluoridasi, dan
mengurangi konsumsi yang rasanya manis. Menurut Tarigan makanan sangat
berpengaruh terhadap gigi dan mulut, makanan yang bersifat membersihkan gigi
yang dapat mengurangi kerusakan gigi seperti apel, jambu air, bengkuang dan
lain sebagainya. Upaya pencegahan kerusakan gigi anak dititik beratkan pada
anak kelompok umur < 14 tahun (usia SD) karena anak-anak seusia tersebut
mulai tumbuh gigi tetap sehingga rentan terhadap penyakit karies gigi
Rumaropen. Pengukuran status karies gigi pada kelompok umur 12 tahun SD akan
lebih mudah dilakukan karena pertumbuhan gigi geligi sudah mencapai akhir
periode gigi bercampur (1,3).
Upaya
peningkatan kesehatan gigi dan mulut meliputi upaya promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif dapat ditingkatkan dengan peran serta masyarakat (Arsyad
Ashar, 2005). Sekolah Dasar (SD) merupakan suatu kelompok yang sangat strategis
untuk penanggulangan kesehatan gigi dan mulut. Usia 8-11 tahun merupakan
kelompok usia yang sangat kritis terhadap terjadinya karies gigi permanen
karena pada usia ini mempunyai sifat khusus yaitu masa transisi pergantian gigi
susu ke gigi permanen. Anak usia 8-11 tahun pada umumnya duduk di bangku kelas
3-5 Sekolah Dasar. Pada usia 8-11 tahun prevalensi karies gigi mencapai 60%-80%
(Yaslis Ilyas, 2000). Peran orang tua,
guru dan tenaga kesehatan dalam mengajari anak merawat kebersihan mulut,
melalui pemilihan dan penggunaan sikat gigi, cara dan waktu menyikat gigi yang
benar dan tepat sejak dini sangat dibutuhkan (5).
Menyikat
gigi sebelum tidur berperan penting dalam pencegahan perkembangan bakteri yang
dapat menyebabkan kerusakan gigi. Menurut Penelitian yang dilakukan oleh
Longginus E, dkk yang menunjukkan bahwa 48,21% anak menyikat gigi malam sebelum
tidur. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak masyarakat yang belum menyadari
akan pentingnya menyikat gigi malam sebelum tidur. Kebiasaan membersihkan gigi
dan mulut dengan waktu yang tepat, terlebih pada malam sebelum tidur merupakan
bentuk perilaku yang akan mempengaruhi baik atau buruknya kebersihan gigi dan
mulut (9).
Anak
yang berisiko karies tinggi harus mendapatkan perhatian khusus karena perawatan
intensif dan ekstra harus segera dilakukan untuk menghilangkan karies atau
setidaknya mengurangi risiko karies tinggi menjadi rendah pada tingkatan karies
yang dapat diterima pada kelompok umur tertentu sehingga target pencapaian gigi
sehat tahun 2010 menurut WHO dapat tercapai. Tindakan pencegahan primer yang
merupakan suatu bentuk prosedur pencegahan yang dilakukan sebelum gejala klinik
dari suatu penyakit timbul dengan kata lain pencegahan sebelum terjadinya
penyakit. Pencegahan terjadinya karies pada anak maka harus modifikasi
kebiasaan anak bertujuan untuk merubah kebiasaan anak yang salah mengenai
kesehatan gigi dan mulutnya sehingga dapat mendukung prosedur pemeliharaan dan
pencegahan karies. Pendidikan kesehatan gigi ibu dan anak dapat dilakukan
melalui puskesmas, rumah sakit maupun di praktek dokter gigi (6,11).
Penyikatan gigi sangat penting
untuk mencegah gigi anak mengalami karies. Flossing dan profesional
propilaksis disadari sebagai komponen dasar dalam menjaga kebersihan mulut.
Keterampilan penyikatan gigi harus diajarkan dan ditekankan pada anak di segala
umur. Metode penyikatan gigi pada anak lebih ditekankan agar mampu membersihkan
keseluruhan giginya bagaimanapun caranya namun dengan bertambahnya usia
diharapkan metode bass dapat dilakukan. Pemakaian sikat gigi elektrik
lebih ditekankan pada anak yang mempunyai masalah khusus. Pasta gigi yang
mengandung 1000–2800 ppm menunjukkan hasil yang baik dalam pencegahan
karies tinggi pada anak di antara umur 6–16 tahun (6).
Anak
sebaiknya tiga kali sehari menyikat gigi segera sesudah makan dan sebelum tidur
malam. Telah terbukti bahwa asam plak gigi akan turun dari pH normal sampai
mencapai pH 5 dalam waktu 3–5 menit sesudah makan makanan yang mengandung
karbohidrat dan Rider cit. Suwelo mengatakan bahwa pH saliva sudah
menjadi normal (6–7) 25 menit setelah makan atau minum. Menyikat gigi dapat
mempercepat proses kenaikan pH 5 menjadi normal (6–7) sehingga dapat mencegah
proses pembentukan karies. Pemakaian benang gigi dianjurkan pada anak yang
berumur 12 tahun ke atas di mana selain penyakit periodontal meningkat pada
umur ini, flossing juga sulit dilakukan dan memerlukan latihan yang lama
sebelum benar-benar menguasainya. Profesional profilaksis (skeling, apklikasi
flour) dilakukan oleh dokter gigi atau tenaga kesehatan anak. Pada anak cacat
dan keterbelakangan mental, hal ini harus lebih ditekankan (6).
Jadi, tindakan pencegahan primer
pada anak yang berisiko karies tinggi meliputi modifikasi kebiasaan anak
(kebersihan mulut dan diet konsumsi gula) dan perlindungan gigi (penggunaan
silen, fluor dan klorheksidin). Pada anak di bawah umur 5 tahun, usaha untuk
melakukan pencegahan primer diberikan kepada ibu seperti meningkatkan
pengetahuan ibu tentang menjaga kebersihan mulut anak, pola makan anak yang
baik dan benar serta tindakan perlindungan terhadap gigi anak yang dapat
diberikan. Hal ini berhubungan karena kemampuan anak terbatas dan anak lebih
dekat kepada ibunya. Pada anak 6 tahun ke atas, dokter gigi harus lebih
menekankan kepada anak mengenai tanggung jawabnya untuk memelihara kesehatan
mulut (6).
Tindakan pencegahan yang
dilakukan harus melihat indikator mana sebagai penyebab utama. Bila kontrol
plak yang tidak baik sebagai penyebab utama, dokter gigi harus lebih menekankan
pada modifikasi anak mengenai kebersihan mulut (menyikat gigi dua kali sehari
dengan menggunakan pasta gigi mengandung fluor sedikitnya 1000 ppm),
bila karena kebiasaan diet yang salah, maka pengaturan diet lebih ditekankan
(pembatasan konsumsi makanan dan minuman yang mengandung gula, menggunakan
bahan pengganti gula seperti xylitol atau sorbitol). Bila morfologi gigi
lebih rentan terhadap karies, seperti pit dan fissure yang dalam, enamel
hipoplasia maka perlindungan terhadap gigi seperti penggunaan silen, fluor dan flossing
klorheksidin lebih ditekankan. Tindakan pencegahan yang lebih baik di
tekankan pada anak-anak dilakukan adalah pencegahan primer yaitu dengan cara
modifikasi kebiasaan anak dan perlindungan terhadap gigi (6).
DAFTAR PUSTAKA
(1)
Berhane Hanna Yemane, Worku Alemayehu. Oral Health
Of Young Adolescents In Addis Ababa - A Community-Based Study. Open Journal Of
Preventive Medicine. 2014; 4: 640-648.
(2)
Wirjayadi, Kadir Abd., Askar Muh. Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kerusakan Gigi Pada Anak Usia Pra Sekolah Di Tk Kartika XX-1
Makassar. Jurnal Stikes Nani Hasanuddin Makassar. 2013; 1 (6).
(3) Hastuti Sri, Andriyani Annisa.
Perbedaan Pengaruh Pedidikan Kesehatan Gigi Dalam Meningkatkan Pengetahuan
Tentang Kesehatan Gigi Pada Anak Di SD Negeri 2 Sambi Kecamatan Sambi Kabupaten
Boyolali. Jurnal Gaster. 2010; 7 (2):
624 – 632.
(4)
Alhamda Syukra. Status Kebersihan Gigi dan Mulut
Dengan Status Karies Gigi (Kajian Pada Murid Kelompok Umur 12 Tahun Di Sekolah
Dasar Negeri Kota Bukittinggi). Jurnal Berita
Kedokteran Masyarakat. 2011; 27 (2):108 - 115
(5) Nurhidayat Oki, P Eram Tunggul,
Wahyono Bambang. Perbandingan Media Power Point Dengan Flip Chart Dalam
Meningkatkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan Mulut. Unnes Journal Of Public Health.
2012; 1 (1).
(6) Angela Ami.
Pencegahan Primer Pada Anak Yang Berisiko Karies Tinggi. Jurnal Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.). 2005; 38
(3): 130–134.
(7)
Anitasari Silvia, Rahayu Nina Endang.
Hubungan Frekuensi
Menyikat Gigi Dengan Tingkat Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah Dasar
Negeri Di Kecamatan Palaran Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan Timur.
Jurnal Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.). 2005; 38 (2):
88–90.
(8) Sumini, Amikasari Bibi, Nurhayati Devi. Hubungan Konsumsi Makanan Manis Dengan
Kejadian Karies Gigi Pada Anak Prasekolah Di Tk B RA Muslimat PSM Tegalrejodesa
Semen Kecamatan Nguntoronadi Kabupaten Magetan. Jurnal Delima Harapan.
2014; 3 (2): 20-27.
(9) Sampakang Trisye, Gunawan Paulina
N., Juliatri.
Status Kebersihan Mulut Anak Usia 9-11 Tahun dan Kebiasaan Menyikat Gigi
Malam Sebelum Tidur Di SDN Melonguane. Jurnal
E-Gigi (Eg). 2015; 3 (1).
(10) Prayitno Adi. Kelainan Gigi dan Jaringan
Pendukung Gigi Yang Sering Ditemui. Jurnal CDK 166. 2008; 35 (7): 411-414.
(11) Januar Paulus. Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Pelayanan Kesehatan Gigi. Jurnal PDGI.2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar