PARADIGMA DAN EPIDEMIOLOGI
KESEHATAN LINGKUNGAN
|
NORMALIA RIZKI
I1A114045
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015
PARADIGMA DAN EPIDEMIOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN
1. Pengertian paradigma dan paradigma
kesehtan lingkungan
Paradigma
dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme,
istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis,
para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan, yang berarti,
model, contoh, arketipe, ideal). Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja
deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Berdasarkan uraian
tersebut, secara epistemologis paradigma berarti di sisi model, di samping pola
atau di sisi contoh. Paradigma juga bisa berarti, sesuatu yang menampakkan
pola, model atau contoh (Lorens Bagus, 2005: 779). Selanjutnya, secara sinonim,
arti paradigma bisa disejajarkan dengan guiding principle, basic point of view
atau dasar perspektif ilmu atau gugusan pikir, terkadang juga ada pula yang
menyejajarkannya dengan konteks (Zumri, 2003: 28).[1]
Lorens Bagus (2005:
779) dalam Kamus Filsafat memaparkan beberapa pengertian tentang paradigma
secara lebih sistematis. Paradigma dalam beberapa pengertian adalah sebagai
berikut:[1]
1) Cara memandang sesuatu,
2) Dalam ilmu pengetahuan artinya
menjadi model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomenon yang dipandang
dijelaskan,
3) Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis
yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret. Dan ini melekat
di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu,
4) Dasar untuk menyeleksi
problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Friedrichs (dalam
Ritzer, 2003:6) mengungkapkan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan mendasar
dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject
matter) yang semestinya dipelajari. Lebih lanjut Ritzer (2003:7) mengungkapkan bahwa
paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan
yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus
diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi
yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.[1]
Dari beberapa
pengertian di atas dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan
dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa
komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang
menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh
cabang ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana dapat
diartikan bahwa paradigma adalah pola pikir, cara pandang para ilmuan mengenai suatu
disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan, dipelajari, dan dipahami
tentang ilmu tersebut.[1]
Paradigma
hidup sehat H.L.Blum menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi status
kesehatan individu atau kelompok masyarakat. Keempat faktor tersebut bisa
dikaitkan dengan faktor determinan (penentu) timbulnya gangguan kesehatan pada
individu atau kelompok masyarakat. Keempat faktor tersebut adalah faktor
perilaku atau gaya hidup (life style), faktor lingkungan (politik, ekonomi,
sosial, budaya, fisik, kimia, dan sebagainya), faktor pelayanan kesehatan
(jenis, cakupan, kelengkapan, mutu, dan sebagainya), dan faktor genetic
(keturunan). Keempat faktor saling berinteraksi satu sama lain secara dinamis
dan berpengaruh terhadap kesehatan (well being) perorangan atau kelompok
masyarakat. Diantara keempat faktor tersebut, faktor lingkungan adalah faktor
determinan yang terbesar dan paling sulit ditanggulangi. Faktor berikutnya adalah
faktor perilaku atau life style. Faktor lingkungan dianggap lebih dominan
pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat dibandingkan dengan faktor perilaku
karena kompleksnya faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi kesehatan manusia
(eksploitasi lingkungan). Munculnya faktor ini juga berkaitan dengan faktor
gaya hidup, perilaku, atau ulah manusia yang merusak lingkungannya.[2]
Paradigma
belum dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program intervensi PH. Tujuan
intervensinya adalah untuk meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup manusia,
termasuk menyeimbangkan lingkungan hidup manusia agar manusia dapat hidup lebih
sehat dan harmonis. Tujuan jangka panjang intervensi PH adalah menghasilkan
keturunan manusia yang lebih sehat. Budaya masyarakat yang terbentuk dari
perilaku manusia akan membawa pengaruh besar pada lingkungan hidup manusia
(contohnya, pemanasan global). Ketersediaan sumber daya pada institusi
pelayanan kesehatan juga mempengaruhi
cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Faktor genetik menjadi perhatian pada
intervensi PH khususnya di bidang kependudukan.[2]
2. Prinsip-Prinsip Epidemiologi
Kesehatan Lingkungan
Dalam
batasan epidemiologi inin sekurang- kurangnya mencakup tiga elemen, yakni :[3]
a. mencakup
semua penyakit
Epidemiologi
mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun non infeksi, seperti
kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrition), kecelakaan lalu lintas maupun
kecelakaan kerja, sakit jiwa, dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju,
epidemiologi ini mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
b. Populasi
Apabila
kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran penyakit individu, maka
epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi
(masyarakat) atau kelompok.
c. Pendekatan
ekologis
Frekuensi
dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada kesehatan lingkungan
baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal ini yang dimaksud
pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan
total lingkungannya.
3. Teori Simpul
Pengamatan Kesehatan Lingkungan
Paradigma kejadian
penyakit menurut Achmadi (2005) dalam Inswiasri (2008) dan Anies (2006),
terdapat dalam 4 simpul, yaitu simpul 1 merupakan sumber penyakit, simpul 2
komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, simpul 3 penduduk
dengan berbagai variabel kependudukan, dan simpul 4 penduduk dalam keadaan
sehat dan sakit setelah mengalami interaksi dengan komponen lingkungan yang
mengandung agent penyakit. Skema kejadian penyakit dapat dilihat seperti
pada Gambar 2. Berdasarkan simpul tersebut, dalam rangka kerjasama geologi
medis antara Badan Geologi dan Balitbangkes, peran Badan Geologi berada pada
simbul 1 dan 2 yaitu sumber penyakit akibat sebaran unsur unsure kimia
beracun/berbahaya yang diakibatkan proses geologi baik alami maupun aktifitas
manusia berupa gas, cairan dan zat padat. Contohnya seperti material keluaran
gunung api dan material limbah akibat
penambangan dan pengolahan mineral yang dapat berdampak terhadap kesehatan
lingkungan dan masyarakat. Sedangkan peran Balitbangkes berada pada simbul 3
dan 4 yaitu pajanan/penyakitnya.[4]
Gambar 2. Paradigma Kejadian Penyakit
|
4. Hubungan interaksi
Host-Agent-Environment
Menurut
John Gordon, model segitiga epidemiologi menggambarkan 3 komponen interaksi
penyakit, yaitu manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment).
Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan
pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara ketiga komponen
tersebut. Model ini lebih dikenal dengan model triangle epidemiologi atau triad
epidemiologi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi sebab peran
agent mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan. Menurut model ini
perubahan salah satu komponen mengubah keseimbangan interaksi ketiga komponen
yang akibatnya berkurang atau bertambahnya suatu penyakit.[5]
Penjamu
adalah seseorang atau kelompok orang yang rentan terhadap penyakit atau sakit
tertentu. Faktor penjamu antara lain sanitasi atau kondisi fisik dan
psikososial yang menyebabkan seseorang berisiko menjadi sakit. Hal-hal yang
berkaitan dengan terjadinya suatu penyakit pada manusia antara lain umur, jenis
kelamin, ras, kelompok etnik (suku), hubungan keluarga, status kesehatan,
termasuk status gizi, keadaan kuantitas dan respon monitor, kebiasaan hidup dan
kehidupan sosial pekerjaan (Subari, 2004). Dalam manusia juga memiliki
karakteristik yang sangat berpengaruh seperti jenis kelamin, usia. Semua itu
berpengaruh terhadap timbulnya penyakit.[5]
Berbagai
faktor internal dan eksternal yang dengan atau tanpanya dapat menyebabkan
terjadinya penyakit atau sakit. Agen ini bisa bersifat biologis, kimia, fisik,
mekanis, atau psikologis (Efendi & Makhfudli, 2009). Menurut Noor (2000)
agen terdiri dari biotis dan abiotis,
agen biotis merupakan penyebab terjadinya penyakit-penyakit menular yaitu
protozoa, metazoa, bakteri, virus. Agen abiotis terdiri dari agent nutrisi yaitu
kekurangan/kelebihan gizi, agen kimia seperti pestisida, logam berat,
obat-obatan, agent fisik terdiri dari suhu, kelembaban, panas, radiasi,
kebisingan, gangguan psikologis, stress dan deprisi juga dapat mempengaruhi
timbulnya suatu penyakit.[5]
Lingkungan
sangat berpengaruh dalam kehidupan dan perkembangan suatu organism. Faktor
lingkungan sangat menentukan dalam hubungan interaksi antara penjamu dengan
faktor agen. Lingkungan dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu pertama lingkunag
biologis yaitu mikroorganisme penyebab penyakit, reservoir penyakit infeksi
(binatang dan tumbuhan), vector pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang sebagai
sumber bahan makanan, obat dan lainya. Kedua lingkungan fisik yang terdiri dari
udara, keadaan tanah, geografi, air, zat kimia dan populasi. Ketiga lingkungan
sosial adalah semua bentuk kehidupan
sosial politik dan sistem organisasi serta institusi yang belaku bagi setiap
individu yang membangun masyarakat tersebut, antara lain sistem ekonomi, bentuk
organisasi masyarakat, sistem pelayanan kesehtan, keadaan kepadatan penduduk,
dan kepadatan rumah serta kebiasaan hidup masyarakat (Subari, 2004). [5]
5. Konsep dasar penilaian, pengukuran pemajanan
dan pengukuran dampak kesehtan lingkungan, maupun pelaksanaan sistem pemantauan,
serta memperkirakan besaran dampak kesehatan lingkungan dengan pendekatan
epidemiologi.
Menurut Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 Pasal 22 ayat (1) bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal” dan Pasal 34
ayat (1) bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam
kriteria wajib Amdal, wajib memiliki UKL-UPL”. Dokumen lingkungan ini digunakan
sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan untuk meminimasi dampak yang dihasilkan
dari usaha, maka setiap pemrakarsa yang usahanya menghasilkan dampak negatif ke
lingkungan baik fisik maupun non fisik diwajibkan untuk membuat dokumen
kelayakan lingkungan sebelum usaha tersebut berjalan. Setelah mendapatkan
rekomendasi UKL-UPL dan kegiatan berjalan maka pemrakarsa harus melakukan
pelaporan secara periodik kepada instansi lingkungan hidup di wilayah
administratifnya (Said, 2006). Menurut Sabaruddin (2007), instansi yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup mempunyai kewenangan dalam
pengendalian dampak lingkungan, pencemaran, dan kerusakan lingkungan serta
pengawasan pelaksanaan UKL-UPL di daerahnya.[6]
Peran
yang efektif dari pemerintah diperlukan dalam dokumen lingkungan, agar dapat
lebih meningkatkan kualitas dan integritas dokumen lingkungan (Ross, 2006).
Koordinasi/hubungan dan mekanisme kerja antar pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sangat diperlukan, sehingga terdapat kejelasan mandat, untuk
menghindarkan terjadinya kerancuan dan tumpang tindihnya wewenang dan tanggung
jawab di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Sosialisasi dan
komunikasi menjadi kunci penting bagi implementasi pembangunan berwawasan
lingkungan (Sarbi, 2006).[6]
Seluruh
kewajiban yang tercantum dalam UKL-UPL juga wajib dilaksanakan oleh
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dan dilaporkan secara berkala kepada
instansi lingkungan hidup pusat, provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang di dalam Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Upaya Pengelolaan
Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan
Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup.[6]
Kriteria pelaksanaan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan terdiri dari:[6]
1. Dokumen UKL-UPL : Kepemilikan,
implementasi dan pelaporan
2. Pengendalian pencemaran air
(air bersih dan air limbah) : baku mutu, pemantauan, pelaporan, perizinan,
ketaatan terhadap ketentuan teknis
3. Pengendalian pencemaran udara
(ambien) : baku mutu, pemantauan, pelaporan
4. Pengendalian gangguan : baku
mutu kebisingan, pelaporan
5. Pengelolaan Limbah B3 :
pendataan jenis dan volume limbah yang dihasilkan, pelaporan, jumlah limbah B3
yang dikelola, pengelolaan limbah B3 oleh pihak ketiga.
Analsis masalah dampak
kesehatan lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting
suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.[7]
Secara garis besar proses AMDAL mencakup
langkah sebagai berikut :[7]
1. Mengidentifikasi dampak dari rencana
usaha dan/atau kegiatan .
2. Menguraikan rona lingkungan awal.
3. Memprediksi dampak penting.
4. Mengevaluasi dampak penting dan
merumuskan arahan RKL dan RPL.
Dokumen AMDAL terdiri dari 5 (lima)
rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu:[7]
1. Konsultasi Masyarakat sebagai
implementasi Kepka Bapedal No. 8/2000
2. Dokumen Kerangka Acuan Analisis
Dampak Lingkungan (KAANDAL)
3. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan
(ANDAL)
4. Dokumen Rencana Pengelolaan
Lingkungan (RKL)
5.
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Di Indonesia Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) masih
belum banyak dikenal dan digunakan se-bagai metoda kajian dampak lingkungan
terhadap kesehatan. Padahal, di beberapa negara Uni Eropa, Amerika dan
Australia ARKL telah menjadi proses central idea legislasi dan regulasi
pengendalian dampak lingkungan. Dalam konteks AMDAL, efek lingkungan terhadap
kesehatan umumnya masih dikaji secara epidemiologis.[8]
Analisis
risiko adalah padanan istilah untuk risk assessment, yaitu karakterisasi
efek-efek yang potensial merugikan kesehatan manusia oleh pajanan bahaya
lingkungan (Aldrich dan Griffith 1993). Analisis risiko merupakan suatu alat
pengelolaan risiko, proses penilaian bersa-ma para ilmuwan dan birokrat untuk
memprakirakan peningkatan risiko kesehatan pada manusia yang terpajan (NRC
1983). WHO (2004) mendefinisikan analisis risiko sebagai proses yang
dimaksudkan untuk menghitung atau memprakirakan risko pada suatu organisme
sasaran, sistem atau sub populasi, termasuk identifikasi
ketidakpastian-ketidakpastian yang me-nyertainya, setelah terpajan oleh agent
ter-tentu, dengan memerhatikan karakteristik yang melekat pada penyebab (agent)
yang menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik. Risiko
itu sendiri didefiniskan sebagai kebolehjadian (probabilitas) suatu
efek merugikan pada suatu organisme, sistem atau (sub)populasi yang disebabkan
oleh pemajanan suatu agent dalam keadaan tertentu. Definisi lain
menyebutkan risiko kesehatan manusia se-bagai kebolehjadian kerusakan kesehatan
seseorang yang disebabkan oleh pema-janan atau serangkaian pemajanan bahaya
lingkungan (WHO 2004).[8]
Saat ini analisis risiko digunakan untuk menilai atau menaksir
risko kesehatan manusia yang disebabkan oleh pajanan ba-haya lingkungan. Bahaya
adalah sifat yang melekat pada suatu risk agent atau situasi yang
memiliki potensi menimbulkan efek merugikan jika su-atu organisme, sistem atau
sub populasi terpajan oleh risk agent tersebut (WHO 2004). Bahaya lingkungan
terdiri atas tiga risk agent yaitu chemical agents (bahan-bahan
ki-mia), physical agents (energi radiasi dan gelombang el-ektromagnetik
berbahaya) dan biological agents (makhluk hidup atau organisme). Analisis
risiko bisa dilakukan untuk pe-ma-majanan yang telah lampau (past
expo-sure), dengan efek yang merugikan sudah atau be-lum terjadi, bisa juga
untuk studi prediksi risiko pemajanan yang akan da-tang (future ex-posure). Studi-studi
Amdal masuk dalam kategori yang kedua.[8]
Analisis risiko terbagi menjadi
empat langkah yaitu (1) identifikasi bahaya (hazard iden-tification), (2)
analisis dosis-respon (dose-respone assessment), (3) analisis pemajanan
(exposure assessment) dan (4) karakterisasi risiko (risk
characterization) (Mukono 2002). Risk analysis menggunakan sains,
teknik, probabilitas dan statistik untuk memprakirakan dan menilai besaran dan
kemungkinan risko kesehatan dan lingkungan yang akan terjadi sehingga semua
pihak yang peduli menge-tahui cara mengendalikan dan mengurangi risko tersebut
(NRC 1983).[8]
Pengelolaan risiko terdiri dari
tiga unsur yaitu evaluasi risiko, pengendalian emisi dan pemajanan dan
pemantauan risiko. Ini berarti, analisis risiko me-rupakan bagian risk
analysis sedangkan manajemen risiko bukan bagian analisis risiko tetapi
kelanju-tan dari analisis risiko. Supaya tujuan pengelolaan risiko tercapai
dengan baik maka pilihan-pilihan manajemen risiko itu harus dikomunikasikan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Langkah ini dikenal sebagai komunikasi
risiko. Manajemen dan komunikasi risiko bersifat spesifik yang bergantung pada
karakteristik risk agent, pola pemajanan, individu atau populasi yang
terpajan, sosio-demografi dan kelembagaan masyarakat dan pemerin-tah setempat.[8]
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan
masih jarang digunakan dalam kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat.
Kebanyakan ana-lisis dilakukan secara konservatif dengan studi epidemiologi.
Memang, selama be-rabad-abad studi epidemiologi telah menjadi metoda
investigasi pe-nyakit infeksi di masyarakat (NRC 1983). Boleh jadi seba-gian
akademisi dan praktisi kesehatan masyarakat berpendapat bahwa epidemiologi
merupakan satu-satunya metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Oleh
karena itu bisa difahami jika masih banyak salah persepsi dan pemertukaran studi
Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dengan ARKL. Sekurang- kurangnya ada
enam ciri yang membedakan EKL dan ARKL, yaitu (Rahman 2007):[8]
1. Dalam ARKL, pajanan risk agent yang diterima setiap
individu dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya
tidak perlu memperhitungkan asupan individual ini.
2. Dalam ARKL, perhitungan asupan membutuhkan konsentrasi risk
agent di da-lam media lingkungan tertentu, karakteristik antropometri
(seperti berat badan dan laju inhalasi atau pola kon-sumsi) dan pola aktivitas
waktu kontak dengan risk agent. Dalam EKL konsen-trasi dibutuhkan tetapi
karakteristik antropometri dan pola aktivitas individu bukan determinan utama
dalam menetapkan besaran risiko.
3. Dalam ARKL, risiko kesehatan oleh pajanan setiap risk agent dibedakan
atas efek karsinogenik dan nonkarsinogenik dengan perhitungan yang berbeda.
Da-lam EKL, teknik analisis efek kanker dan nonkanker pada dasarnya sama.
4. Dalam EKL, efek kesehatan (kanker dan nonkanker) yang ditentukan
dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio, relative risk atau
standardized mortality ratio) didapat dari populasi yang dipelajari.
ARKL tidak dimaksud-kan untuk mencari indikasi atau menguji hubungan atau
pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis
lingkungan) melainkan untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang
dan akan terjadi. Efek tersebut, yang dinya-takan sebagai nilai kuantitatif
dosis-respon, harus sudah ditegakkan lebih dahulu, yang didapat dari luar
sumber-sumber populasi yang dipelajari, bahkan dari studi-studi toksisitas uji
hayati (bioassay) atau studi keaktifan biologis risk agent.
5. Dalam ARKL, besaran
risiko (dinyatakan sebagai RQ untuk non-karsinogenik dan ECR untuk
karsino-genik) tidak dibaca sebagai per-bandingan lurus (direct-ly
proportional) melainkan sebagai probalitias. Dalam EKL pernyataan risiko
seperti OR, RR atau SMR dibaca sebagai per-bandingan lurus. Jadi misalnya, RQ
= 2 tidak dibaca sama dengan OR = 2.
6. Kuantitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan
untuk merumus-kan pengelolaan dan komunikasi risiko secara lebih spesifik. ARKL
menawar-kan pengelolaan risiko secara kuanti-tatif seperti penetapan baku mutu
dan reduksi konsentrasi. Pengelolaan dan komunikasi risiko bukan bagian
integral studi EKL dan, jika ada, hanya relevan untuk populasi yang dipelajari.
7. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan umumnya dilakukan atas dasar
kejadian penyakit (disease oriented) atau kondisi lingkungan yang
spesifik (agent oriented), sedangkan Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan bersifat agent specific dan site specific. Analisis
risiko kesehatan lingkungan adalah proses perhitungan atau perkiraan risiko
pada suatu organisme sasaran, sistem atau (sub) populasi, termasuk identifikasi
ketidakpastian-ketidakpastian yang me-nyertainya, setelah terpajan oleh agent
tertentu, dengan memerhatikan karak-terisktik yang melekat pada agent itu
dan karakterisktik system sasaran yang spesifik.
8. Dalam Public Health Assessment kedua studi tersebut
dapat digabungkan dengan tidak menghilangkan cirinya masing-masing. Analisis
risiko kesehatan lingkungan mampu meramal-kan besaran tingkat risiko secara
kuantitatif sedangkan epidemiologi kesehatan lingkungan dapat membuktikan
apakah prediksi itu sudah terbukti atau belum. Public Health Assessment tidak
saja memberikan estimasi numerik risiko kesehatan melainkan juga perspektif kesehatan
masyarakat dengan memadukan analisis mengenai kondisi-kondisi pemajanan
setempat, data efek-efek kesehatan dan kepedulian masyarakat (NRC 1983).
Daftar
Pustaka
1. Wayan
Muliartha. Eksplorasi Pemikiran Tentang
Paradigma, Konsep, Dalil, dan Teori. Teknologi Pembelajaran Undiksha
2010.
2. Prof.
Dr. A. A. Gde Muninjaya, MPH. Manajemen Kesehatan, Ed. 3. Jakarta: EGC, 2011.
3. Prof.
Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni, Ed. Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
4. Lia Novalia Agung dan Raharjo Hutamadi. Paparan
Merkuri Di Daerah Pertambangan Emas Rakyat Cisoka, Kabupaten Lebak, Provinsi
Banten: Suatu Tinjauan Geologi Medis. Buletin Sumber Daya
Geologi 7 (3) ( 2012).
5. Yeni Iswari. Analisis Faktor-Faktor
Risiko Kejadian Diare Pada Anak Usia Dibawah 2 Tahun di RSUD Koja Jakarta. FIK
UI 2011.
6. Prathika
Andini Goesty, dkk. Analisis Penaatan
Pemrakarsa Kegiatan Bidang Kesehatan di Kota Magelang Terhadap Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup. Ilmu Lingkungan 10 (2) (2012): 89-94
7. H.J. Mukono, Kedudukan Amdal Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan yang
Berkelanjutan (Sustainable
Development). Kesehatan
Lingkungan (1) ( 2005) : 19 – 28
8. Syahrul Basri, dkk. Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan. Kesehatan 7 (2) (2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar