Kamis, 26 Maret 2015

KESEHATAN LINGKUNGAN

PARADIGMA DAN EPIDEMIOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN



600px-Logo_unlam.jpg
 
 














NORMALIA RIZKI
I1A114045








FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015


PARADIGMA DAN EPIDEMIOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN

1.      Pengertian paradigma dan paradigma kesehtan lingkungan
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm dan dalam bahasa Perancis disebut paradigme, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis, para berarti (di samping, di sebelah) dan deigma berarti (memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal). Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Berdasarkan uraian tersebut, secara epistemologis paradigma berarti di sisi model, di samping pola atau di sisi contoh. Paradigma juga bisa berarti, sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh (Lorens Bagus, 2005: 779). Selanjutnya, secara sinonim, arti paradigma bisa disejajarkan dengan guiding principle, basic point of view atau dasar perspektif ilmu atau gugusan pikir, terkadang juga ada pula yang menyejajarkannya dengan konteks (Zumri, 2003: 28).[1]
Lorens Bagus (2005: 779) dalam Kamus Filsafat memaparkan beberapa pengertian tentang paradigma secara lebih sistematis. Paradigma dalam beberapa pengertian adalah sebagai berikut:[1]
1) Cara memandang sesuatu,
2) Dalam ilmu pengetahuan artinya menjadi model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomenon yang dipandang dijelaskan,
3) Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret. Dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu,
4) Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.
Friedrichs (dalam Ritzer, 2003:6) mengungkapkan bahwa paradigma sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) yang semestinya dipelajari. Lebih lanjut Ritzer (2003:7) mengungkapkan bahwa paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan yang harus dijawab, bagaimana harus menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang harus dikumpulkan informasi yang dikumpulkan dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut.[1]
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan, dalam suatu cabang ilmu pengetahuan dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya dimungkinkan terdapatnya beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik pandangnya tentang apa yang menurutnya menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari dan diteliti oleh cabang ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata yang lebih sederhana dapat diartikan bahwa paradigma adalah pola pikir, cara pandang para ilmuan mengenai suatu disiplin ilmu serta apa saja yang mesti dipersoalkan, dipelajari, dan dipahami tentang ilmu tersebut.[1]
Paradigma hidup sehat H.L.Blum menjelaskan empat faktor yang mempengaruhi status kesehatan individu atau kelompok masyarakat. Keempat faktor tersebut bisa dikaitkan dengan faktor determinan (penentu) timbulnya gangguan kesehatan pada individu atau kelompok masyarakat. Keempat faktor tersebut adalah faktor perilaku atau gaya hidup (life style), faktor lingkungan (politik, ekonomi, sosial, budaya, fisik, kimia, dan sebagainya), faktor pelayanan kesehatan (jenis, cakupan, kelengkapan, mutu, dan sebagainya), dan faktor genetic (keturunan). Keempat faktor saling berinteraksi satu sama lain secara dinamis dan berpengaruh terhadap kesehatan (well being) perorangan atau kelompok masyarakat. Diantara keempat faktor tersebut, faktor lingkungan adalah faktor determinan yang terbesar dan paling sulit ditanggulangi. Faktor berikutnya adalah faktor perilaku atau life style. Faktor lingkungan dianggap lebih dominan pengaruhnya terhadap kesehatan masyarakat dibandingkan dengan faktor perilaku karena kompleksnya faktor lingkungan yang bisa mempengaruhi kesehatan manusia (eksploitasi lingkungan). Munculnya faktor ini juga berkaitan dengan faktor gaya hidup, perilaku, atau ulah manusia yang merusak lingkungannya.[2]
Paradigma belum dapat dimanfaatkan untuk pengembangan program intervensi PH. Tujuan intervensinya adalah untuk meningkatkan kualitas dan kenyamanan hidup manusia, termasuk menyeimbangkan lingkungan hidup manusia agar manusia dapat hidup lebih sehat dan harmonis. Tujuan jangka panjang intervensi PH adalah menghasilkan keturunan manusia yang lebih sehat. Budaya masyarakat yang terbentuk dari perilaku manusia akan membawa pengaruh besar pada lingkungan hidup manusia (contohnya, pemanasan global). Ketersediaan sumber daya pada institusi pelayanan kesehatan juga  mempengaruhi cakupan dan mutu pelayanan kesehatan. Faktor genetik menjadi perhatian pada intervensi PH khususnya di bidang kependudukan.[2]

2.      Prinsip-Prinsip Epidemiologi Kesehatan Lingkungan
Dalam batasan epidemiologi inin sekurang- kurangnya mencakup tiga elemen, yakni :[3]
a.       mencakup semua penyakit
Epidemiologi mempelajari semua penyakit, baik penyakit infeksi maupun non infeksi, seperti kanker, penyakit kekurangan gizi (malnutrition), kecelakaan lalu lintas maupun kecelakaan kerja, sakit jiwa, dan sebagainya. Bahkan di negara-negara maju, epidemiologi ini mencakup juga kegiatan pelayanan kesehatan.
b.      Populasi
Apabila kedokteran klinik berorientasi pada gambaran-gambaran penyakit individu, maka epidemiologi ini memusatkan perhatiannya pada distribusi penyakit pada populasi (masyarakat) atau kelompok.
c.       Pendekatan ekologis
Frekuensi dan distribusi penyakit dikaji dari latar belakang pada kesehatan lingkungan baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Hal ini yang dimaksud pendekatan ekologis. Terjadinya penyakit pada seseorang dikaji dari manusia dan total lingkungannya.

3. Teori Simpul Pengamatan Kesehatan Lingkungan
Paradigma kejadian penyakit menurut Achmadi (2005) dalam Inswiasri (2008) dan Anies (2006), terdapat dalam 4 simpul, yaitu simpul 1 merupakan sumber penyakit, simpul 2 komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit, simpul 3 penduduk dengan berbagai variabel kependudukan, dan simpul 4 penduduk dalam keadaan sehat dan sakit setelah mengalami interaksi dengan komponen lingkungan yang mengandung agent penyakit. Skema kejadian penyakit dapat dilihat seperti pada Gambar 2. Berdasarkan simpul tersebut, dalam rangka kerjasama geologi medis antara Badan Geologi dan Balitbangkes, peran Badan Geologi berada pada simbul 1 dan 2 yaitu sumber penyakit akibat sebaran unsur unsure kimia beracun/berbahaya yang diakibatkan proses geologi baik alami maupun aktifitas manusia berupa gas, cairan dan zat padat. Contohnya seperti material keluaran gunung api dan material limbah  akibat penambangan dan pengolahan mineral yang dapat berdampak terhadap kesehatan lingkungan dan masyarakat. Sedangkan peran Balitbangkes berada pada simbul 3 dan 4 yaitu pajanan/penyakitnya.[4]

Gambar 2. Paradigma Kejadian Penyakit
 
 


















4. Hubungan interaksi Host-Agent-Environment
Menurut John Gordon, model segitiga epidemiologi menggambarkan 3 komponen interaksi penyakit, yaitu manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment). Untuk memprediksi penyakit, model ini menekankan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Penyakit dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan  antara ketiga komponen tersebut. Model ini lebih dikenal dengan model triangle epidemiologi atau triad epidemiologi dan cocok untuk menerangkan penyebab penyakit infeksi sebab peran agent mudah di isolasikan dengan jelas dari lingkungan. Menurut model ini perubahan salah satu komponen mengubah keseimbangan interaksi ketiga komponen yang akibatnya berkurang atau bertambahnya suatu penyakit.[5]
Penjamu adalah seseorang atau kelompok orang yang rentan terhadap penyakit atau sakit tertentu. Faktor penjamu antara lain sanitasi atau kondisi fisik dan psikososial yang menyebabkan seseorang berisiko menjadi sakit. Hal-hal yang berkaitan dengan terjadinya suatu penyakit pada manusia antara lain umur, jenis kelamin, ras, kelompok etnik (suku), hubungan keluarga, status kesehatan, termasuk status gizi, keadaan kuantitas dan respon monitor, kebiasaan hidup dan kehidupan sosial pekerjaan (Subari, 2004). Dalam manusia juga memiliki karakteristik yang sangat berpengaruh seperti jenis kelamin, usia. Semua itu berpengaruh terhadap timbulnya penyakit.[5]
Berbagai faktor internal dan eksternal yang dengan atau tanpanya dapat menyebabkan terjadinya penyakit atau sakit. Agen ini bisa bersifat biologis, kimia, fisik, mekanis, atau psikologis (Efendi & Makhfudli, 2009). Menurut Noor (2000) agen terdiri  dari biotis dan abiotis, agen biotis merupakan penyebab terjadinya penyakit-penyakit menular yaitu protozoa, metazoa, bakteri, virus. Agen abiotis terdiri dari agent nutrisi yaitu kekurangan/kelebihan gizi, agen kimia seperti pestisida, logam berat, obat-obatan, agent fisik terdiri dari suhu, kelembaban, panas, radiasi, kebisingan, gangguan psikologis, stress dan deprisi juga dapat mempengaruhi timbulnya suatu penyakit.[5]
Lingkungan sangat berpengaruh dalam kehidupan dan perkembangan suatu organism. Faktor lingkungan sangat menentukan dalam hubungan interaksi antara penjamu dengan faktor agen. Lingkungan dapat dibagi dalam 3 bagian yaitu pertama lingkunag biologis yaitu mikroorganisme penyebab penyakit, reservoir penyakit infeksi (binatang dan tumbuhan), vector pembawa penyakit, tumbuhan dan binatang sebagai sumber bahan makanan, obat dan lainya. Kedua lingkungan fisik yang terdiri dari udara, keadaan tanah, geografi, air, zat kimia dan populasi. Ketiga lingkungan sosial adalah semua bentuk  kehidupan sosial politik dan sistem organisasi serta institusi yang belaku bagi setiap individu yang membangun masyarakat tersebut, antara lain sistem ekonomi, bentuk organisasi masyarakat, sistem pelayanan kesehtan, keadaan kepadatan penduduk, dan kepadatan rumah serta kebiasaan hidup masyarakat (Subari, 2004). [5]

5.  Konsep dasar penilaian, pengukuran pemajanan dan pengukuran dampak kesehtan lingkungan, maupun pelaksanaan sistem pemantauan, serta memperkirakan besaran dampak kesehatan lingkungan dengan pendekatan epidemiologi.

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 22 ayat (1) bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal” dan Pasal 34 ayat (1) bahwa “setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal, wajib memiliki UKL-UPL”. Dokumen lingkungan ini digunakan sebagai instrumen pencegahan pencemaran dan untuk meminimasi dampak yang dihasilkan dari usaha, maka setiap pemrakarsa yang usahanya menghasilkan dampak negatif ke lingkungan baik fisik maupun non fisik diwajibkan untuk membuat dokumen kelayakan lingkungan sebelum usaha tersebut berjalan. Setelah mendapatkan rekomendasi UKL-UPL dan kegiatan berjalan maka pemrakarsa harus melakukan pelaporan secara periodik kepada instansi lingkungan hidup di wilayah administratifnya (Said, 2006). Menurut Sabaruddin (2007), instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup mempunyai kewenangan dalam pengendalian dampak lingkungan, pencemaran, dan kerusakan lingkungan serta pengawasan pelaksanaan UKL-UPL di daerahnya.[6]
Peran yang efektif dari pemerintah diperlukan dalam dokumen lingkungan, agar dapat lebih meningkatkan kualitas dan integritas dokumen lingkungan (Ross, 2006). Koordinasi/hubungan dan mekanisme kerja antar pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sangat diperlukan, sehingga terdapat kejelasan mandat, untuk menghindarkan terjadinya kerancuan dan tumpang tindihnya wewenang dan tanggung jawab di bidang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Sosialisasi dan komunikasi menjadi kunci penting bagi implementasi pembangunan berwawasan lingkungan (Sarbi, 2006).[6]
Seluruh kewajiban yang tercantum dalam UKL-UPL juga wajib dilaksanakan oleh penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dan dilaporkan secara berkala kepada instansi lingkungan hidup pusat, provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. Hal ini sesuai dengan apa yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup.[6]
Kriteria pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan terdiri dari:[6]
1. Dokumen UKL-UPL : Kepemilikan, implementasi dan pelaporan
2. Pengendalian pencemaran air (air bersih dan air limbah) : baku mutu, pemantauan, pelaporan, perizinan, ketaatan terhadap ketentuan teknis
3. Pengendalian pencemaran udara (ambien) : baku mutu, pemantauan, pelaporan
4. Pengendalian gangguan : baku mutu kebisingan, pelaporan
5. Pengelolaan Limbah B3 : pendataan jenis dan volume limbah yang dihasilkan, pelaporan, jumlah limbah B3 yang dikelola, pengelolaan limbah B3 oleh pihak ketiga.
Analsis masalah dampak kesehatan lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.[7]
Secara garis besar proses AMDAL mencakup langkah sebagai berikut :[7]
1. Mengidentifikasi dampak dari rencana usaha dan/atau kegiatan .
2. Menguraikan rona lingkungan awal.
3. Memprediksi dampak penting.
4. Mengevaluasi dampak penting dan merumuskan arahan RKL dan RPL.
Dokumen AMDAL terdiri dari 5 (lima) rangkaian dokumen yang dilaksanakan secara berurutan, yaitu:[7]
1. Konsultasi Masyarakat sebagai implementasi Kepka Bapedal No. 8/2000
2. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KAANDAL)
3. Dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL)
4. Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL)
5. Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL)
Di Indonesia Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) masih belum banyak dikenal dan digunakan se-bagai metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Padahal, di beberapa negara Uni Eropa, Amerika dan Australia ARKL telah menjadi proses central idea legislasi dan regulasi pengendalian dampak lingkungan. Dalam konteks AMDAL, efek lingkungan terhadap kesehatan umumnya masih dikaji secara epidemiologis.[8]
Analisis risiko adalah padanan istilah untuk risk assessment, yaitu karakterisasi efek-efek yang potensial merugikan kesehatan manusia oleh pajanan bahaya lingkungan (Aldrich dan Griffith 1993). Analisis risiko merupakan suatu alat pengelolaan risiko, proses penilaian bersa-ma para ilmuwan dan birokrat untuk memprakirakan peningkatan risiko kesehatan pada manusia yang terpajan (NRC 1983). WHO (2004) mendefinisikan analisis risiko sebagai proses yang dimaksudkan untuk menghitung atau memprakirakan risko pada suatu organisme sasaran, sistem atau sub populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian-ketidakpastian yang me-nyertainya, setelah terpajan oleh agent ter-tentu, dengan memerhatikan karakteristik yang melekat pada penyebab (agent) yang menjadi perhatian dan karakteristik sistem sasaran yang spesifik. Risiko itu sendiri didefiniskan sebagai kebolehjadian (probabilitas) suatu efek merugikan pada suatu organisme, sistem atau (sub)populasi yang disebabkan oleh pemajanan suatu agent dalam keadaan tertentu. Definisi lain menyebutkan risiko kesehatan manusia se-bagai kebolehjadian kerusakan kesehatan seseorang yang disebabkan oleh pema-janan atau serangkaian pemajanan bahaya lingkungan (WHO 2004).[8]
Saat ini analisis risiko digunakan untuk menilai atau menaksir risko kesehatan manusia yang disebabkan oleh pajanan ba-haya lingkungan. Bahaya adalah sifat yang melekat pada suatu risk agent atau situasi yang memiliki potensi menimbulkan efek merugikan jika su-atu organisme, sistem atau sub populasi terpajan oleh risk agent tersebut (WHO 2004). Bahaya lingkungan terdiri atas tiga risk agent yaitu chemical agents (bahan-bahan ki-mia), physical agents (energi radiasi dan gelombang el-ektromagnetik berbahaya) dan biological agents (makhluk hidup atau organisme). Analisis risiko bisa dilakukan untuk pe-ma-majanan yang telah lampau (past expo-sure), dengan efek yang merugikan sudah atau be-lum terjadi, bisa juga untuk studi prediksi risiko pemajanan yang akan da-tang (future ex-posure). Studi-studi Amdal masuk dalam kategori yang kedua.[8]
Analisis risiko terbagi menjadi empat langkah yaitu (1) identifikasi bahaya (hazard iden-tification), (2) analisis dosis-respon (dose-respone assessment), (3) analisis pemajanan (exposure assessment) dan (4) karakterisasi risiko (risk characterization) (Mukono 2002). Risk analysis menggunakan sains, teknik, probabilitas dan statistik untuk memprakirakan dan menilai besaran dan kemungkinan risko kesehatan dan lingkungan yang akan terjadi sehingga semua pihak yang peduli menge-tahui cara mengendalikan dan mengurangi risko tersebut (NRC 1983).[8]
Pengelolaan risiko terdiri dari tiga unsur yaitu evaluasi risiko, pengendalian emisi dan pemajanan dan pemantauan risiko. Ini berarti, analisis risiko me-rupakan bagian risk analysis sedangkan manajemen risiko bukan bagian analisis risiko tetapi kelanju-tan dari analisis risiko. Supaya tujuan pengelolaan risiko tercapai dengan baik maka pilihan-pilihan manajemen risiko itu harus dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Langkah ini dikenal sebagai komunikasi risiko. Manajemen dan komunikasi risiko bersifat spesifik yang bergantung pada karakteristik risk agent, pola pemajanan, individu atau populasi yang terpajan, sosio-demografi dan kelembagaan masyarakat dan pemerin-tah setempat.[8]
Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan masih jarang digunakan dalam kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan masyarakat. Kebanyakan ana-lisis dilakukan secara konservatif dengan studi epidemiologi. Memang, selama be-rabad-abad studi epidemiologi telah menjadi metoda investigasi pe-nyakit infeksi di masyarakat (NRC 1983). Boleh jadi seba-gian akademisi dan praktisi kesehatan masyarakat berpendapat bahwa epidemiologi merupakan satu-satunya metoda kajian dampak lingkungan terhadap kesehatan. Oleh karena itu bisa difahami jika masih banyak salah persepsi dan pemertukaran studi Epidemiologi Kesehatan Lingkungan (EKL) dengan ARKL. Sekurang- kurangnya ada enam ciri yang membedakan EKL dan ARKL, yaitu (Rahman 2007):[8]
1. Dalam ARKL, pajanan risk agent yang diterima setiap individu dinyatakan sebagai intake atau asupan. Studi epidemiologi umumnya tidak perlu memperhitungkan asupan individual ini.
2. Dalam ARKL, perhitungan asupan membutuhkan konsentrasi risk agent di da-lam media lingkungan tertentu, karakteristik antropometri (seperti berat badan dan laju inhalasi atau pola kon-sumsi) dan pola aktivitas waktu kontak dengan risk agent. Dalam EKL konsen-trasi dibutuhkan tetapi karakteristik antropometri dan pola aktivitas individu bukan determinan utama dalam menetapkan besaran risiko.
3. Dalam ARKL, risiko kesehatan oleh pajanan setiap risk agent dibedakan atas efek karsinogenik dan nonkarsinogenik dengan perhitungan yang berbeda. Da-lam EKL, teknik analisis efek kanker dan nonkanker pada dasarnya sama.
4. Dalam EKL, efek kesehatan (kanker dan nonkanker) yang ditentukan dengan berbagai pernyataan risiko (seperti odd ratio, relative risk atau standardized mortality ratio) didapat dari populasi yang dipelajari. ARKL tidak dimaksud-kan untuk mencari indikasi atau menguji hubungan atau pengaruh dampak lingkungan terhadap kesehatan (kejadian penyakit yang berbasis lingkungan) melainkan untuk menghitung atau menaksir risiko yang telah, sedang dan akan terjadi. Efek tersebut, yang dinya-takan sebagai nilai kuantitatif dosis-respon, harus sudah ditegakkan lebih dahulu, yang didapat dari luar sumber-sumber populasi yang dipelajari, bahkan dari studi-studi toksisitas uji hayati (bioassay) atau studi keaktifan biologis risk agent.
5. Dalam ARKL, besaran risiko (dinyatakan sebagai RQ untuk non-karsinogenik dan ECR untuk karsino-genik) tidak dibaca sebagai per-bandingan lurus (direct-ly proportional) melainkan sebagai probalitias. Dalam EKL pernyataan risiko seperti OR, RR atau SMR dibaca sebagai per-bandingan lurus. Jadi misalnya, RQ = 2 tidak dibaca sama dengan OR = 2.
6. Kuantitas risiko nonkarsinogenik dan karsinogenik digunakan untuk merumus-kan pengelolaan dan komunikasi risiko secara lebih spesifik. ARKL menawar-kan pengelolaan risiko secara kuanti-tatif seperti penetapan baku mutu dan reduksi konsentrasi. Pengelolaan dan komunikasi risiko bukan bagian integral studi EKL dan, jika ada, hanya relevan untuk populasi yang dipelajari.
7. Epidemiologi Kesehatan Lingkungan umumnya dilakukan atas dasar kejadian penyakit (disease oriented) atau kondisi lingkungan yang spesifik (agent oriented), sedangkan Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan bersifat agent specific dan site specific. Analisis risiko kesehatan lingkungan adalah proses perhitungan atau perkiraan risiko pada suatu organisme sasaran, sistem atau (sub) populasi, termasuk identifikasi ketidakpastian-ketidakpastian yang me-nyertainya, setelah terpajan oleh agent tertentu, dengan memerhatikan karak-terisktik yang melekat pada agent itu dan karakterisktik system sasaran yang spesifik.
8. Dalam Public Health Assessment kedua studi tersebut dapat digabungkan dengan tidak menghilangkan cirinya masing-masing. Analisis risiko kesehatan lingkungan mampu meramal-kan besaran tingkat risiko secara kuantitatif sedangkan epidemiologi kesehatan lingkungan dapat membuktikan apakah prediksi itu sudah terbukti atau belum. Public Health Assessment tidak saja memberikan estimasi numerik risiko kesehatan melainkan juga perspektif kesehatan masyarakat dengan memadukan analisis mengenai kondisi-kondisi pemajanan setempat, data efek-efek kesehatan dan kepedulian masyarakat (NRC 1983).


Daftar Pustaka
1.      Wayan Muliartha. Eksplorasi Pemikiran Tentang Paradigma, Konsep, Dalil, dan Teori. Teknologi Pembelajaran Undiksha 2010.
2.      Prof. Dr. A. A. Gde Muninjaya, MPH. Manajemen Kesehatan, Ed. 3. Jakarta: EGC, 2011.
3.      Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Kesehatan Masyarakat Ilmu Dan Seni, Ed. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2011.
4.      Lia Novalia Agung dan Raharjo Hutamadi. Paparan Merkuri Di Daerah Pertambangan Emas Rakyat Cisoka, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten: Suatu Tinjauan Geologi Medis. Buletin Sumber Daya Geologi 7 (3) ( 2012).
5.      Yeni Iswari. Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Pada Anak Usia Dibawah 2 Tahun di RSUD Koja Jakarta. FIK UI 2011.
6.       Prathika Andini Goesty, dkk.  Analisis Penaatan Pemrakarsa Kegiatan Bidang Kesehatan di Kota Magelang Terhadap Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup. Ilmu Lingkungan 10 (2) (2012): 89-94
7.      H.J. Mukono, Kedudukan Amdal Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan yang Berkelanjutan (Sustainable Development). Kesehatan Lingkungan  (1) ( 2005) : 19 – 28
8.      Syahrul Basri, dkk. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan. Kesehatan 7 (2) (2014).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar